Masalah
Hama dan Keamanan Pangan
( Prof. DR. Ir. M. Sarjan, 1 Juni 2016)
Hama adalah makhluk hidup yang menjadi pesaing, perusak,
penyebar penyakit, dan pengganggu semua sumber daya yang dibutuhkan manusia.
Definisi hama bersifat relatif dan sangat antroposentrik berdasarkan pada
estetika, ekonomi, dan kesejahteraan pribadi yang dibentuk oleh bias budaya dan
pengalaman pribadi.
Kategori serangga hama didasarkan pada sumber daya yang
dipengaruhinya. Tiga kategori umum hama serangga adalah hama estetika, hama
kesehatan, serta hama pertanian dan kehutanan. Hama estetika mengganggu suasana
keindahan, kenyamanan, dan kenikmatan manusia. Hama kesehatan menimbulkan
dampak pada kesehatan dan kesejahteraan manusia berupa luka, ketidaknyamanan,
stress, sakit, pingsan, dan bahkan kematian. Sekitar 50% dari seluruh jenis
serangga penghuni bumi merupakan serangga herbivora yang dapat merusak tanaman
pertanian dan kehutanan secara langsung atau pun tidak langsung. Betapa besar
kerugian akibat serangan serangga hama (sekitar
27%) yang perlu diselamatkan atau ditekan melalui upaya pengendalian dan
pengelolaan yang intensif. Keberadaan serangga hama dipertanaman sejak mulai
dari benih, bibit, tanaman muda, tanaman dewasa, bunga, buah sampai pasca panen
dengan berbagai spesies yang sangat beragam pada setiap fase pertumbuhan
tanaman. Oleh karena itu selama proses
produksi sampai saat ini petani selalu melakukan upaya pengendalian dengan
berbagai teknik, terutama masih mengandalkan insektisida kimia sebagai senjata
pamungkas. Dalam pelaksanaannya
perlindungan tanaman dari OPT masih menitik beratkan pada pencapaian hasil
secara kuantitatif, tanpa mempertimbangkan atau masih sedikit yang
memperhatikan aspek kualitas hasil, misalnya dengan mempertimbangkan kandungan
residu pestisida pada produk pertanian.
Hal ini dibuktikan sejak saat terjadunya revolusi hijau
sampai sekarang, apalagi ditambah dengan kurangnya perhatian dan pemahaman
konsumen terhadap bahaya mengkonsumsi produk yang tercemar pestisida.
Dipicu oleh keberhasilan revolusi hijau secara global, dalam
upaya mencapai swasembada pangan, pada tahun 1970-an hingga awal 1990
pemerintah Indonesia juga telah menggulirkan revolusi hijau. Melalui program
intensifikasi pertanian dengan bertumpu pada penggunaan pupuk dan pestisida
sintetik kimia, program swasembada pangan tersebut dapat tercapai. Akan tetapi
dampak negatif dari program tersebut saat ini sudah kita rasakan, yaitu dengan
semakin kurusnya lahan pertanian, hama dan penyakit tanaman menjadi resisten,
ketergantungan terhadap sarana produksi kimia yang begitu besar serta semakin
tingginya residu pestisida yang berbahaya dalam pangan yang kita konsumsi.
Pengertian Revolusi Hijau
Adalah usaha pengembangan teknologi pertanian untuk
meningkatkan produksi pangan.
Mengubah dari pertanian yang tadinya menggunakan teknologi
tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi lebih maju atau
modern.
Revolusi Hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller
Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina
(1960).
Revolusi Hijau menekankan pada SEREALIA: padi, jagung,
gandum, dan lain-lain, (Serealia adalah tanaman biji-bijian)
Revolusi Hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting yaitu:
1. Penyediaan air melalui sistem irigasi,
2. Pemakaian pupuk kimia secara optimal,
3. Penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan
organisme pengganggu,
4. Penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam
berkualitas.
Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadilah
peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga
kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu.
Revolusi Hijau di Indonesia
Di negara kita Indonesia, Revolusi Industri diterapkan
dengan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian.
Ekstensifikasi dengan perluasan areal.
Terbatasnya areal, menyebabkan pengembangan lebih banyak
pada intensifikasi.
Intensifikasi dilakukan melalui Panca Usaha Tani, (Lima
Usaha Tani)
1. Teknik pengolahan lahan pertanian
2. Pengaturan irigasi
3. Pemupukan
4. Pemberantasan hama
5. Penggunaan bibit unggul
Dampak Revolusi Hijau
Hasil dari suatu metode tentunya mempunyai dampak positif
dan negatif, begitu juga dengan Revolusi Hijau berikut ini merupakan dampak
positif dan negatif dari Revolusi Hijau
Dampak Positif Revolusi Hijau
Produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan
(karbohidrat) meningkat.
Salah satu contohnya bagi bangsa Indonesia sendiri adalah
Indonesia yang tadinya pengimpor beras menjadi mampu swasembada beras.
Dampak Negatif Revolusi Hijau antara lain :
1. Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak
diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah.
2. Penurunan keanekaragaman hayati.
3. Penggunaan pupuk terus menerus menyebabkan ketergantungan
tanaman pada pupuk.
4. Penggunaan peptisida menyebabkan munculnya hama strain
baru yang resisten.
Revolusi Hijau juga mendapatkan kritik dari pihak-pihak yang
mempunyai kesadaran akan kelestarian lingkungan karena telah mengakibatkan
kerusakan lingkungan yang parah.
Oleh mereka yang mendukung revolusi industri, mereka
menyebutkan bahwa kerusakan tersebut bukan karena revolusi industri tapi karena
akses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah
ditentukan.
Revolusi Hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya
kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan
yang parah.
Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena
Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak
memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan.
Selain kritik tersebut di atas masih ada kritik lain lagi
yitu Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang
karena ia tidak memberi dampak nyata di wilayah Afrika.
Begitulah..!
No comments:
Post a Comment