Formalin selain harganya murah, mudah didapat dan
pemakaiannya pun tidak sulit sehingga sangat diminati sebagai pengawet oleh
produsen pangan yang tidak bertanggung jawab.
Pengawet ini memiliki unsur aldehida yang bersifat mudah
bereaksi dengan protein, karenanya ketika disiramkan ke makanan seperti daging,
formalin akan mengikat unsur protein mulai dari bagian permukaan hingga terus
meresap kebagian dalamnya.
Dengan matinya protein setelah terikat unsur kimia dari
formalin maka bila daging ditekan terasa lebih kenyal.
Selain itu protein yang telah mati tidak akan diserang
bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam.
Itulah sebabnya makanan berformalin lainnya menjadi lebih
awet..
Melihat sifatnya, formalin juga sudah tentu akan menyerang
protein yang banyak terdapat di dalam tubuh manusia.
Terlebih, bila formalin yang masuk ke tubuh itu memiliki
dosis tinggi.
Daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak. Kandungan
gizi daging yang lengkap, pH mendekati netral, dan kandungan aktifitas air
tinggi menjadi lingkungan ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan
mikroorganisme pembusuk.
Hal ini lah yang membuat beberapa pedagang nakal untuk
mencurangi pembelinya dengan memberi formalin agar dagangannya dapat bertahan
lama dan dengan keadaan fisik yang masih baik.
Beberapa teknologi telah dikembangkan untuk menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk, baik secara fisik, kimia maupun biologis.
Secara fisik, teknologi pengawetan daging meliputi pencucian
dengan air panas, iradiasi, ultrasound, pendinginan dan pembekuan.
Secara kimia, teknologi pengawetan daging mencakup pemakaian
asam organik dan klorin atau fosfat.
Secara biologi, pengawetan daging dapat menggunakan
bakteriofage dan bakteriosin.
Penggunaan bahan kimia sebagai pengawet merupakan cara yang paling
banyak dilakukan.
Vinegar merupakan jawaban kecemasan akan kesehatan yang
terancam dari efek formalin yang masuk ketubuh melalui makanan.
Vinegar yang terbuat dari kulit pisang atau air kelapa aman
digunakan sebagai pengawet alami daging segar.
Dengan Vinegar lah daging segar dapat lebih awet namun tidak
mengakibatkan kerusakan pada tubuh setelah menkomsumsinya baik jangka pendek
maupun jangka panjang.
Vinegar dihasilkan dari fermentasi bahan yang mengandung
gula atau pati menjadi alkohol dan difermentasi lebih lanjut menjadi vinegar.
Pembuatan vinegar tidak terlalu sulit karena bahan utama
yang mudah didapat.
Selain aman juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri
patogen pada daging segar.
Ada dua macam vinegar yang dikembangkan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) melalui BB Pascapanen.
Pertama Vinegar kulit pisang, kulit pisang merupakan limbah
dengan jumlah yang cukup banyak.
Proporsi kulit pisang terhadap bobot buah cukup tinggi,
yaitu 1 : 4.
Artinya, bobot kulit seperempat kali dari bobot buah pisang.
Kulit pisang umumnya dibuang atau digunakan sebagai pakan ternak kini dapat
diolah menjadi vinegar.
Kedua Vinegar air kelapa, komposisi buah kelapa terdiri atas
33% sabut, 12% tempurung, 28% daging buah, dan 25% air.
Ketersediaan air kelapa di Indonesia mencapai lebih dari 900
juta liter per tahun.
Selain untuk produk nata de coco, air kelapa juga berpotensi
diolah menjadi vinegar.
Keunggulan teknologi ini adalah biaya produksi yang murah
karena bahan bakunya dari limbah pertanian dan mudah didapat, mudah
diaplikasikan, tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak merubah rasa dan warna
daging.
#Tolong jangan Formalin Asrori, cukup di Fermetasikan saja
dia..
No comments:
Post a Comment