Tuesday, 20 September 2016

PERTANIAN TERPADU


         Pertanian Konevensional dengan sistem monokultur dianggap dapat memberikan hasil produksi yang maksimal. Nyatanya, sistem monokultur dalam jangka panjang justru boros energi. Mungkinkah pertanian terpadu menjadi solusinya?

         Dikutip dari artikel dalam jurnal Agronomi yang terbit Maret-April 2007, ketersediaan energi dan perubahan iklim menjadi tantangan baru dalam dunia pertanian. Sistem pertanian industri yang selama ini menerapkan metode monokultur dan penggunaan input dari luar seperti pupuk kimiawi dan pestisida kimia dalam jangka panjang justru menurunkan hasil produksi dan daya dukung lingkungan.

        Dalam laporan Persatuan Bangsa-Bangsa yang berjudul “Millenium Ecosystem Assessment Synthesis Report” 2005 lalu, diperkirakan permintaan akan pangan meningkat 70-85 persen dalam 50 tahun ke depan. Sedangkan permintaan akan air bersih meningkat antara 30-85 persen.
“Jika kita dapat menjalankan sistem pertanian yang lebih hemat energi, lebih adaptif terhadap perubahan iklim, dan mulai mengganti sistem monokultur dengan pertanian diversifikasi, segala keuntungan ekonomi yang nanti didapat ini bisa menjadi dorongan bagi petani untuk beralih ke pertanian yang lebih kompleks,” ujar Kirschenmann, peneliti yang menulis paper mengenai pertanian dan perubahan iklim.
Ia menambahkan, untuk mengatasi ini dibutuhkan pertanian yang lebih hemat energi, mempertahankan keanekaragaman hayati pertanian serta mampu mencapai produksi optimum melalui diversifikasi produk meski dalam lahan yang terbatas. Ciri ini dimiliki oleh pertanian terpadu dan organik.
Hal senada diungkapkan Indro Surono, pegiat dan Inspektor Pertanian Organik yang telah aktif berkegiatan di bidang pertanian organik selama lebih dari 10 tahun. Indro menjelaskan, menurut sebuah riset yang dilakukan di Swiss selama 20 tahun, penerapan pertanian organik dan pertanian terpadu lebih hemat energi.
“Dengan pertanian terpadu dan pertanian organik ada pengikatan bahan organik di dalam tanah dan penyerapan karbon lebih rendah dibanding pertanian konvensional yang pakai pupuk nitrogen dan sebagainya,” kata Indro.

         Penggunaan pupuk kimiawi tersebut terlalu mengikat karbon sehingga lebih menguras energi. Maka menurut hasil penelitian tersebut, Pertanian Organik dan Terpadu berkontribusi pada pengurangan pemakaian karbon.
Dihubungi terpisah, Noviansyah, Deputi Direktur PT Masasi Indonesia yang bergerak di bidang akses pasar dan pelatihan agribisnis mengatakan bahwa pertanian terpadu dan organik lebih baik karena lebih hemat energi dan menjaga rantai energi agar tidak terputus mulai dari budidaya, panen dan pasca panen.

Sumber Penghasilan Beragam
       Selain hemat energi, keunggulan lain dari pertanian terpadu dan organik adalah petani akan memiiki beragam sumber penghasilan. Sistem Pertanian terpadu memperhatikan diversifikasi tanaman dan polikultur. Seorang petani bisa menanam padi dan bisa juga beternak kambing atau ayam dan menanam sayuran.
Kotoran yang dihasilkan oleh ternak dapat digunakan sebagai pupuk sehingga petani tidak perlu membeli pupuk lagi. Jika panen gagal, petani masih bisa mengandalkan daging atau telur ayam, atau bahkan menjual kambing untuk mendapatkan penghasilan.
“Dengan demikian tidak hanya andalkan satu sumber penghasilan. Monokultur riskan terhadap hama karena sebabkan hama senang. Dengan polikultur ada keseimbangan biologis, musuh ada kawan sehingga serangan hama tidak begitu banyak,” ujar Novi yang pernah aktif sebagai aktivis pertanian berkelanjutan.
Selain itu limbah pertanian juga dapat dimanfaatkan dengan mengolahnya menjadi biomassa. Bekas jerami, batang jagung dan tebu memiliki potensi biomas yang besar.
Dalam konteks program Bimas, kinerja subsidi pertanian terpadu direfleksikan oleh keberhasilan pelaksanaan kredit program. Kredit program pada hakekatnya merupakan instrumen strategis dalam upaya peningkatan produksi melalui program intensifikasi (Soentoro, et.al., 1992). Tingkat bunga yang rendah dan prosedur yang relatif mudah mendorong petani dalam penerapan teknologi yang dianjurkan. Kredit program berfungsi sebagai pemacu adopsi teknologi baru, dan efektif sebagai penunjang program peningkatan produksi khususnya bagi petani golongan ekonomi lemah.
Kredit program pertanian merupakan instrumen kebijakan yang strategis di dalam memacu dan memantapkan pertumbuhan sektor pertanian. Hal ini direfleksikan oleh keterkaitan penyaluran kredit program dengan perluasan areal intensifikasi dan pertumbuhan sektor pertanian (Hermanto, 1992). Analisis empiris juga menunjukkan bahwa kredit intensifikasi merupakan elemen penting dan strategis sebagai suatu perangkat kebijakan swasembada pangan. Peran ini akan semakin mantap bila dapat dilakukan koreksi terhadap struktur kredit program yang didominasi olen kredit tanaman pangan, khususnya untuk tanaman padi.
            Struktur yang ada dinilai tidak kondusif dalam mendorong implementasi program diversifikasi pertanian. Untuk mendorong program diversifikasi pertanian, perlu dilakukan realokasi kredit program ke usaha tani non padi. Realokasi ini perlu memperhatikan perkembangan pola permintaan petani terhadap jenis dan jumlah kredit usaha tani.
Partisipasi petani dalam pemanfaatan kredit program didominasi oleh petani dengan kemampuan berswadana yang rendah. Kredit program dibutuhkan sebagai pelengkap kebutuhan modal kerja dalam penerapan teknologi anjuran (Sumaryanto, 1992).

Secara lebih spesifik, faktor-faktor utama yang berpengaruh nyata terhadap keputusan petani dalam pemanfaatan KUT adalah :
Luas kepemilikan sawah: semakin sempit luas sawah milik, kecenderungan untuk meminjam KUT semakin tinggi;
Keikutsertaan dalam kelompok tani: semakin lama waktu keikutsertaan, semakin tinggi keinginan untuk memanfaatkan KUT;
Partisipasi petani dalam program intensifikasi semakin mendorong motivasi petani untuk mengajukan KUT;
Resiko kegagalan usaha tani dan rendahnya kemampuan pemupukan modal mendorong petani memanfaatkan KUT dalam rangka menjamin perolehan sarana produksi pertanian.

          Kehadiran KUT dalam pembangunan subsektor tanaman pangan masih sangat dibutuhkan, baik sebagai bantuan permodalan petani maupun sebagai pemacu adopsi teknologi (Waluyo dan Djauhari, 1992). Di daerah dengan tingkat persepsi terhadap teknologi sudah tinggi, KUT lebih banyak berfungsi sebagai bantuan permodalan. Pada daerah seperti ini, peran petani dalam penyusunan RDKK agar lebih ditonjolkan, sehingga paket KUT yang diterima sesuai dengan
kebutuhan petani. Sedangkan pada daerah rintisan, KUT lebih berfungsi sebagai pemacu adopsi teknologi.
Dalam konteks perencanaan subsidi pertanian terpadu, perlu diketahui kendala penyaluran dan pengembalian KUT (Waluyo dan Djauhari, 1992) sebagai berikut:
Kualitas KUD peserta KUT yang masih rendah;
Eksistensi kelompok tani yang lemah;
Pembuatan RDKK yang tidak murni dan tidak transparan;
Keterlambatan pencairan KUT sehingga tidak efektif dalam pemanfaatannya.

          Konsekwensinya adalah mekanisme kontrol dalam pengambilan KUT ternyata masih membutuhkan banyak penyempurnaan. Kemungkinan penyaluran KUT langsung kepada kelompok tani dengan eksistensi dan kinerja yang relatif kuat, dinilai layak untuk dipertimbangkan.

Semoga bermanfaat...

No comments:

Post a Comment