Pertanian Konevensional dengan sistem monokultur dianggap
dapat memberikan hasil produksi yang maksimal. Nyatanya, sistem monokultur
dalam jangka panjang justru boros energi. Mungkinkah pertanian terpadu menjadi
solusinya?
Dikutip dari artikel dalam jurnal Agronomi yang terbit
Maret-April 2007, ketersediaan energi dan perubahan iklim menjadi tantangan
baru dalam dunia pertanian. Sistem pertanian industri yang selama ini
menerapkan metode monokultur dan penggunaan input dari luar seperti pupuk
kimiawi dan pestisida kimia dalam jangka panjang justru menurunkan hasil
produksi dan daya dukung lingkungan.
Dalam laporan Persatuan Bangsa-Bangsa yang berjudul “Millenium Ecosystem Assessment Synthesis Report” 2005 lalu, diperkirakan permintaan akan pangan meningkat 70-85 persen dalam 50 tahun ke depan. Sedangkan permintaan akan air bersih meningkat antara 30-85 persen.
“Jika kita dapat menjalankan sistem pertanian yang lebih
hemat energi, lebih adaptif terhadap perubahan iklim, dan mulai mengganti sistem
monokultur dengan pertanian diversifikasi, segala keuntungan ekonomi yang nanti
didapat ini bisa menjadi dorongan bagi petani untuk beralih ke pertanian yang
lebih kompleks,” ujar Kirschenmann, peneliti yang menulis paper mengenai
pertanian dan perubahan iklim.
Ia menambahkan, untuk mengatasi ini dibutuhkan pertanian
yang lebih hemat energi, mempertahankan keanekaragaman hayati pertanian serta
mampu mencapai produksi optimum melalui diversifikasi produk meski dalam lahan
yang terbatas. Ciri ini dimiliki oleh pertanian terpadu dan organik.
Hal senada diungkapkan Indro Surono, pegiat dan Inspektor
Pertanian Organik yang telah aktif berkegiatan di bidang pertanian organik
selama lebih dari 10 tahun. Indro menjelaskan, menurut sebuah riset yang
dilakukan di Swiss selama 20 tahun, penerapan pertanian organik dan pertanian
terpadu lebih hemat energi.
“Dengan pertanian terpadu dan pertanian organik ada
pengikatan bahan organik di dalam tanah dan penyerapan karbon lebih rendah
dibanding pertanian konvensional yang pakai pupuk nitrogen dan sebagainya,”
kata Indro.
Penggunaan pupuk kimiawi tersebut terlalu mengikat karbon sehingga lebih menguras energi. Maka menurut hasil penelitian tersebut, Pertanian Organik dan Terpadu berkontribusi pada pengurangan pemakaian karbon.
Dihubungi terpisah, Noviansyah, Deputi Direktur PT Masasi
Indonesia yang bergerak di bidang akses pasar dan pelatihan agribisnis
mengatakan bahwa pertanian terpadu dan organik lebih baik karena lebih hemat
energi dan menjaga rantai energi agar tidak terputus mulai dari budidaya, panen
dan pasca panen.
Sumber Penghasilan Beragam
Selain hemat energi, keunggulan lain dari pertanian terpadu
dan organik adalah petani akan memiiki beragam sumber penghasilan. Sistem
Pertanian terpadu memperhatikan diversifikasi tanaman dan polikultur. Seorang
petani bisa menanam padi dan bisa juga beternak kambing atau ayam dan menanam
sayuran.
Kotoran yang dihasilkan oleh ternak dapat digunakan sebagai
pupuk sehingga petani tidak perlu membeli pupuk lagi. Jika panen gagal, petani
masih bisa mengandalkan daging atau telur ayam, atau bahkan menjual kambing
untuk mendapatkan penghasilan.
“Dengan demikian tidak hanya andalkan satu sumber
penghasilan. Monokultur riskan terhadap hama karena sebabkan hama senang.
Dengan polikultur ada keseimbangan biologis, musuh ada kawan sehingga serangan
hama tidak begitu banyak,” ujar Novi yang pernah aktif sebagai aktivis
pertanian berkelanjutan.
Selain itu limbah pertanian juga dapat dimanfaatkan dengan
mengolahnya menjadi biomassa. Bekas jerami, batang jagung dan tebu memiliki
potensi biomas yang besar.
Dalam konteks program Bimas, kinerja subsidi pertanian
terpadu direfleksikan oleh keberhasilan pelaksanaan kredit program. Kredit
program pada hakekatnya merupakan instrumen strategis dalam upaya peningkatan
produksi melalui program intensifikasi (Soentoro, et.al., 1992). Tingkat bunga
yang rendah dan prosedur yang relatif mudah mendorong petani dalam penerapan
teknologi yang dianjurkan. Kredit program berfungsi sebagai pemacu adopsi
teknologi baru, dan efektif sebagai penunjang program peningkatan produksi
khususnya bagi petani golongan ekonomi lemah.
Kredit program pertanian merupakan instrumen kebijakan yang
strategis di dalam memacu dan memantapkan pertumbuhan sektor pertanian. Hal ini
direfleksikan oleh keterkaitan penyaluran kredit program dengan perluasan areal
intensifikasi dan pertumbuhan sektor pertanian (Hermanto, 1992). Analisis
empiris juga menunjukkan bahwa kredit intensifikasi merupakan elemen penting
dan strategis sebagai suatu perangkat kebijakan swasembada pangan. Peran ini
akan semakin mantap bila dapat dilakukan koreksi terhadap struktur kredit
program yang didominasi olen kredit tanaman pangan, khususnya untuk tanaman
padi.
Struktur yang ada dinilai tidak kondusif dalam mendorong
implementasi program diversifikasi pertanian. Untuk mendorong program
diversifikasi pertanian, perlu dilakukan realokasi kredit program ke usaha tani
non padi. Realokasi ini perlu memperhatikan perkembangan pola permintaan petani
terhadap jenis dan jumlah kredit usaha tani.
Partisipasi petani dalam pemanfaatan kredit program
didominasi oleh petani dengan kemampuan berswadana yang rendah. Kredit program
dibutuhkan sebagai pelengkap kebutuhan modal kerja dalam penerapan teknologi
anjuran (Sumaryanto, 1992).
Secara lebih spesifik, faktor-faktor utama yang berpengaruh
nyata terhadap keputusan petani dalam pemanfaatan KUT adalah :
Luas kepemilikan sawah: semakin sempit luas sawah milik,
kecenderungan untuk meminjam KUT semakin tinggi;
Keikutsertaan dalam kelompok tani: semakin lama waktu
keikutsertaan, semakin tinggi keinginan untuk memanfaatkan KUT;
Partisipasi petani dalam program intensifikasi semakin
mendorong motivasi petani untuk mengajukan KUT;
Resiko kegagalan usaha tani dan rendahnya kemampuan pemupukan
modal mendorong petani memanfaatkan KUT dalam rangka menjamin perolehan sarana produksi pertanian.
Kehadiran KUT dalam pembangunan subsektor tanaman pangan
masih sangat dibutuhkan, baik sebagai bantuan permodalan petani maupun sebagai
pemacu adopsi teknologi (Waluyo dan Djauhari, 1992). Di daerah dengan tingkat
persepsi terhadap teknologi sudah tinggi, KUT lebih banyak berfungsi sebagai
bantuan permodalan. Pada daerah seperti ini, peran petani dalam penyusunan RDKK
agar lebih ditonjolkan, sehingga paket KUT yang diterima sesuai dengan
kebutuhan petani. Sedangkan pada daerah rintisan, KUT lebih
berfungsi sebagai pemacu adopsi teknologi.
Dalam konteks perencanaan subsidi pertanian terpadu, perlu
diketahui kendala penyaluran dan pengembalian KUT (Waluyo dan Djauhari, 1992)
sebagai berikut:
Kualitas KUD peserta KUT yang masih rendah;
Eksistensi kelompok tani yang lemah;
Pembuatan RDKK yang tidak murni dan tidak transparan;
Keterlambatan pencairan KUT sehingga tidak efektif dalam
pemanfaatannya.
Konsekwensinya adalah mekanisme kontrol dalam pengambilan
KUT ternyata masih membutuhkan banyak penyempurnaan. Kemungkinan penyaluran KUT
langsung kepada kelompok tani dengan eksistensi dan kinerja yang relatif kuat,
dinilai layak untuk dipertimbangkan.
Semoga bermanfaat...
Semoga bermanfaat...
No comments:
Post a Comment