Thursday, 30 June 2016

FALSAFAH PENYULUHAN PERTANIAN



*FALSAFAH PENYULUHAN PERTANIAN*


Meskipun telah lama dipahami bahwa penyuluhan merupakan proses pendidikan, tetapi dalam sejarah penyuluhan pertanian di Indonesia, terutama selama periode pemerintahan Orde Baru, kegiatan penyuluhan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan kekuasaan melalui kegiatan yang berupa pemaksaan, sehingga muncul gurauan : *"Dipaksa - Terpaksa - Akhirnya Terbiasa"*.

Terhadap kenyataan seperti itu, telah diingatkan kepada semua insan penyuluhan kembali untuk menghayati makna penyuluhan sebagai proses pendidikan.
Diakui, penyuluhan melalui pendidikan akan memakan waktu lebih lama untuk mengubah perilaku masyarakat, tetapi perubahan perilaku yang terjadi akan berlangsung lebih kekal.
Sebaliknya, meskipun penyuluhan melalui pemaksaan dapat lebih cepat dan mudah dilakukan, tetapi perubahan perilaku tersebut akan segera hilang, manakala faktor pemaksanya sudah dihentikan.

Dalam khasanah kepustakaan penyuluhan pertanian, banyak kita jumpai beragam falsafah penyuluhan pertanian. Berkaitan dengan itu, tercatat adanya 11 (sebelas) rumusan tentang falsafah penyuluhan.

Di Amerika Serikat juga telah lama dikembangkan falsafah 3 T :
*"Teach, Truth, and Trust - Pendidikan, Kebenaran dan Kepercayaan/Keyakinan*.
Artinya, penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang telah diyakini.
Dengan kata lain, dalam penyuluhan pertanian, petani dididik untuk menerapkan setiap informasi (baru) yang telah diuji kebenarannya dan telah diyakini akan dapat memberikan manfaat (ekonomi maupun non ekonomi) bagi perbaikan kesejahteraannya.

Rumusan lain yang lebih tua dan nampaknya paling banyak dikemukakan oleh banyak pihak dalam banyak kesempatan adalah, falsafah penyuluhan harus berpijak kepada pentingnya pengembangan individu di dalam perjalanan pertumbuhan masyarakat dan bangsanya.
Karena itu, falsafah penyuluhan adalah :
Bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia - *"Helping People to Help Themselves"*.

Dari pendapat tersebut, terkandung pengertian bahwa :

1. Penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat, dan bukannya bekerja untuk masyarakat.
Kehadiran penyuluh bukan sebagai penentu atau pemaksa, tetapi ia harus mampu menciptakan suasana dialogis dengan masyarakat dan mampu menumbuhkan, menggerakkan, serta memelihara partisipasi masyarakat.

2. Penyuluhan tidak boleh menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin terciptanya kreativitas dan kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa, swadaya, swadana, dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapainya tujuan, harapan, dan keinginan-keinginan masyarakat sasarannya.

3. Penyuluhan yang dilaksanakan, harus selalu mengacu kepada terwujudnya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan peningkatan harkatnya sebagai manusia.

Dari kalangan pakar Indonesia, tercatat :
Mengacu kepada pemahaman tentang penyuluhan sebagai proses pendidikan, di Indonesia dikenal adanya falsafah pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro yang berbunyi :

*a. Ing Ngarso Sung Tulodo*
Mampu memberikan contoh atau taladan bagi masyarakat sasarannya

*b Ing Madyo Mangun Karso
Mampu menumbuhkan inisyatif dan mendorong kreativitas, serta semangat dan motivasi untuk selalu belajar dan mencoba

*c. Tut Wuri Handayani*
Mau menghargai dan mengikuti keinginan-keinginan serta upaya yang dilakukan masyarakat petaninya, sepanjang tidak menyimpang/meninggalkan acuan yang ada, demi tercapainya tujuan perbaikan kesejahteraan hidupnya.

Masih bertolak dari pemahaman penyuluhan merupakan salah satu sistem pendidikan, untuk mengaitkan falsafah penyuluhan dengan pendidikan yang memiliki falsafah *"Idealisme, Realisme dan Pragmatisme"*, yang berarti :

a. Penyuluhan Pertanian harus mampu menumbuhkan cita-cita yang melandasi untuk selalu berfikir kreatif dan dinamis.

b. Di samping itu, penyuluhan pertanian harus selalu mengacu kepada kenyataan-kenyataan yang ada dan dapat ditemui di lapang atau harus selalu disesuaikan dengan keada-an yang dihadapi.

c. Meskipun demikian, penyuluhan harus melakukan hal-hal terbaik yang dapat dilakukan, dan bukannya mengajar kondisi terbaik yang sulit direalisir.

Lebih lanjut, karena penyuluhan pada dasarnya harus merupakan bagian integral dan sekaligus sarana pelancar atau bahkan penentu kegiatan pembangunan, perlunya falsafah penyuluhan yang harus berakar pada falsafah negara Pancasila, terutama yang berkaitan dengan sila-sila :
*"Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"*
Artinya, jika petani (sebagai sasaran utama penyuluhan pertanian) diminta untuk bekerja lebih keras guna meningkatkan produksinya.
Seluruh bangsa Indonesia juga harus mau mengangkat harkat kaum taninya demi kemanusiaan dan keadilan sosial, yang berlandaskan pada kepercayaan kepada Yang Maha Esa, menghargai prinsip demokrasi, serta demi tercapainya persatuan bangsa Indonesia.

Dalam pengertian di atas, perlu dipahami bahwa, petani bukanlah orang bodoh dan karena itu tidaklah pantas untuk tetap dibiarkan atau bahkan dibuat hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.
Petani haruslah dilihat sebagai manusia biasa yang memiliki potensi untuk mengembangkan kemampuannya dan memiliki keinginan dan harapan untuk terlepas dari kemiskinan dan penderitaan yang tidak mereka kehendaki.

Karena itu, pelaksanaan penyuluhan pertanian harus mampu tidak saja mengembangkan potensi petani tetapi juga harus mau memberikan peluang kepada kekuatannya sendiri untuk mengembangkan potensinya supaya terlepas dari kemiskinan dan kebodohan.
Dengan demikian, penyuluhan pertanian harus didukung oleh kegiatan lain yang dapat menjadikan petani (yang selama ini bodoh dan miskin itu) sebagai petani-petani tangguh.

Petani tangguh bukanlah petani yang dengan penuh kesabaran sanggup tahan hidup dalam kebodohan dan penderitaan, tetapi petani yang terus menerus mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dengan kreatif berswakarsa dan berswadaya dalam meningkatkan produktivitas dan pendapatannya demi perbaikan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya.

Sehubungan dengan falsafah penyuluhan pertanian yang berlandaskan pada falsafah Pancasila, penyuluhan pertanian agar juga mengkaitkannya dengan motto bangsa yang *Bhinneka Tunggal Ika* yang membawa konsekuensi pada :

1. Perubahan administrasi penyuluhan dari yang bersifat "Regulatif Sentralistis" menjadi 
    "Fasilitatif Partisipatif"
2. Pentingnya kemauan penyuluh untuk memahami budaya lokal yang seringkali juga mewarnai 
    "Local Agriclutural Practices".


Pemahaman seperti itu, mengandung pengertian bahwa :

1. Administrasi penyuluhan tidak selalu dibatasi oleh peraturan-peraturan dari "pusat" yang kaku, karena hal ini seringkali menjadikan petani tidak memperoleh keleluasaan mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Demikian juga halnya dengan administrasi yang terlalu "sentralistis" seringkali tidak mampu secara cepat mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang timbul di daerah-daerah, karena masih menunggu "petunjuk/restu" dari pusat.

Padahal, dalam setiap permasalahan yang dihadapi, pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani seringkali berdasarkan pertimbangan bagaimana untuk dapat "menyelamatkan keluarganya".
Dalam kasus-kasus seperti itu, seharusnya penyuluh diberi kewenangan untuk secepatnya pula mengambil inisyatifnya sendiri.
Di lain pihak, administrasi yang terlalu "Regulatif" seringkali sangat membatasi kemerdekaan petani untuk mengambil keputusan bagi usahataninya.

2) Penyuluh, selain memberikan "ilmu"nya kepada petani, ia harus mau belajar tentang "ngelmu"nya petani yang seringkali dianggap tidak rasional (karena yang oleh penyuluh dianggap rasional adalah yang sudah menjadi petunjuk pusat).
Padahal, praktek-praktek usahatani yang berkembang dari budaya lokal seringkali juga sangat rasional, karena telah mengalami proses "Trial and Error" dan teruji oleh waktu.


Berkaitan dengan falsafah *“Helping People to Help Themselves”* tercatat adanya 8 teori pemberian bantuan, yaitu :

*1. Hubungan Penasehat dan Aparat Birokrasi Pemerintah*
Melalui proses pembelajaran tentang : ide-ide baru, analisis keadaan dan masalahnya yang diikuti dengan tawaran solusi dan minimalisasi konfrontasi/ketegangan yang terjadi antara aparat pemerintah dan masyarakat, antar sesama aparat, dan antar kelompok-kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dan yang menimati keuntungan dari kebijakan pemerintah.

*2. Hubungan Guru dan Murid*
Dengan memberikan :
• Kesempatan untuk mengenali pengalamanannya
• Stimulus untuk berpikir dan menemukan masalahnya sendiri
• Memberikan kesempatan untuk melakukan “penelitian”
• Tawaran solusi untuk dipelajari
• Kesempatan untuk menguji idenya dengan aplikasi langsung

*3. Hubungan Manajer dan Karyawan*
Melalui pemberian tanggungjawab sebagai alat kontrol diri (self control)

*4. Hubungan Dokter dan Pasien*
Melalui pemberian saran yang konstruktif dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki dan atau diusahakannya sendiri.
Ujicoba kegiatan melalui pemberian dana dan manajemen dari luar, ternyata tidak akan memberikan hasil yang lebih baik.

*5. Hubungan Guru Spiritual dan Murid*
Melalui pemahaman bahwa masalah atau kesalahan hanya dapat diketahui oleh yang mengalaminya (diri sendiri).
Guru tidak boleh menonjolkan kelebihannya, tetapi harus merendah diri, siap melayani,dan menyediakan waktu dengan sabar.

*6. Hubungan Organisator dan Masyarakat*
Melalui upaya demokratisasi, menumbuh-kembangkan partisipasi, dan mengembangkan keyakinan (rasa percaya diri) untuk memecahkan masalahnya sendiri.

*7. Hubungan Pendidik dan Masyarakat*
Melalui proses penyadaran dan memberikan kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang terbaik menurut dirinya sendiri.

*8. Hubungan Agen Pembangunan dan Lembaga Lokal*
Melalui program bantuan untuk mencermati apa yang dilakukan seseorang (masyarakat) dan membantu agar mereka dapat melakukan perbaikan-perbaikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya.


Semoga Bermanfaat..

No comments:

Post a Comment