*FALSAFAH PENYULUHAN PERTANIAN*
Meskipun telah lama dipahami bahwa penyuluhan merupakan
proses pendidikan, tetapi dalam sejarah penyuluhan pertanian di Indonesia,
terutama selama periode pemerintahan Orde Baru, kegiatan penyuluhan lebih
banyak dilakukan dengan pendekatan kekuasaan melalui kegiatan yang berupa
pemaksaan, sehingga muncul gurauan : *"Dipaksa - Terpaksa - Akhirnya
Terbiasa"*.
Terhadap kenyataan seperti itu, telah diingatkan kepada
semua insan penyuluhan kembali untuk menghayati makna penyuluhan sebagai proses
pendidikan.
Diakui, penyuluhan melalui pendidikan akan memakan waktu
lebih lama untuk mengubah perilaku masyarakat, tetapi perubahan perilaku yang
terjadi akan berlangsung lebih kekal.
Sebaliknya, meskipun penyuluhan melalui pemaksaan dapat
lebih cepat dan mudah dilakukan, tetapi perubahan perilaku tersebut akan segera
hilang, manakala faktor pemaksanya sudah dihentikan.
Dalam khasanah kepustakaan penyuluhan pertanian, banyak kita
jumpai beragam falsafah penyuluhan pertanian. Berkaitan dengan itu, tercatat
adanya 11 (sebelas) rumusan tentang falsafah penyuluhan.
Di Amerika Serikat juga telah lama dikembangkan falsafah 3 T
:
*"Teach, Truth, and Trust - Pendidikan, Kebenaran dan
Kepercayaan/Keyakinan*.
Artinya, penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan untuk
menyampaikan kebenaran-kebenaran yang telah diyakini.
Dengan kata lain, dalam penyuluhan pertanian, petani dididik
untuk menerapkan setiap informasi (baru) yang telah diuji kebenarannya dan
telah diyakini akan dapat memberikan manfaat (ekonomi maupun non ekonomi) bagi
perbaikan kesejahteraannya.
Rumusan lain yang lebih tua dan nampaknya paling banyak
dikemukakan oleh banyak pihak dalam banyak kesempatan adalah, falsafah
penyuluhan harus berpijak kepada pentingnya pengembangan individu di dalam
perjalanan pertumbuhan masyarakat dan bangsanya.
Karena itu, falsafah penyuluhan adalah :
Bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka
dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia - *"Helping People to Help
Themselves"*.
Dari pendapat tersebut, terkandung pengertian bahwa :
1. Penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat, dan
bukannya bekerja untuk masyarakat.
Kehadiran penyuluh bukan sebagai penentu atau pemaksa,
tetapi ia harus mampu menciptakan suasana dialogis dengan masyarakat dan mampu
menumbuhkan, menggerakkan, serta memelihara partisipasi masyarakat.
2. Penyuluhan tidak boleh menciptakan ketergantungan, tetapi
harus mampu mendorong semakin terciptanya kreativitas dan kemandirian
masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa, swadaya, swadana,
dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapainya tujuan,
harapan, dan keinginan-keinginan masyarakat sasarannya.
3. Penyuluhan yang dilaksanakan, harus selalu mengacu kepada
terwujudnya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan peningkatan harkatnya sebagai
manusia.
Dari kalangan pakar Indonesia, tercatat :
Mengacu kepada pemahaman tentang penyuluhan sebagai proses
pendidikan, di Indonesia dikenal adanya falsafah pendidikan yang dikemukakan
oleh Ki Hajar Dewantoro yang berbunyi :
*a. Ing Ngarso Sung Tulodo*
Mampu memberikan contoh atau taladan bagi masyarakat
sasarannya
*b Ing Madyo Mangun Karso
Mampu menumbuhkan inisyatif dan mendorong kreativitas, serta
semangat dan motivasi untuk selalu belajar dan mencoba
*c. Tut Wuri Handayani*
Mau menghargai dan mengikuti keinginan-keinginan serta upaya
yang dilakukan masyarakat petaninya, sepanjang tidak menyimpang/meninggalkan
acuan yang ada, demi tercapainya tujuan perbaikan kesejahteraan hidupnya.
Masih bertolak dari pemahaman penyuluhan merupakan salah
satu sistem pendidikan, untuk mengaitkan falsafah penyuluhan dengan pendidikan
yang memiliki falsafah *"Idealisme, Realisme dan Pragmatisme"*, yang
berarti :
a. Penyuluhan Pertanian harus mampu menumbuhkan cita-cita
yang melandasi untuk selalu berfikir kreatif dan dinamis.
b. Di samping itu, penyuluhan pertanian harus selalu mengacu
kepada kenyataan-kenyataan yang ada dan dapat ditemui di lapang atau harus
selalu disesuaikan dengan keada-an yang dihadapi.
c. Meskipun demikian, penyuluhan harus melakukan hal-hal
terbaik yang dapat dilakukan, dan bukannya mengajar kondisi terbaik yang sulit
direalisir.
Lebih lanjut, karena penyuluhan pada dasarnya harus
merupakan bagian integral dan sekaligus sarana pelancar atau bahkan penentu
kegiatan pembangunan, perlunya falsafah penyuluhan yang harus berakar pada
falsafah negara Pancasila, terutama yang berkaitan dengan sila-sila :
*"Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"*
Artinya, jika petani (sebagai sasaran utama penyuluhan
pertanian) diminta untuk bekerja lebih keras guna meningkatkan produksinya.
Seluruh bangsa Indonesia juga harus mau mengangkat harkat
kaum taninya demi kemanusiaan dan keadilan sosial, yang berlandaskan pada kepercayaan
kepada Yang Maha Esa, menghargai prinsip demokrasi, serta demi tercapainya
persatuan bangsa Indonesia.
Dalam pengertian di atas, perlu dipahami bahwa, petani
bukanlah orang bodoh dan karena itu tidaklah pantas untuk tetap dibiarkan atau
bahkan dibuat hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.
Petani haruslah dilihat sebagai manusia biasa yang memiliki
potensi untuk mengembangkan kemampuannya dan memiliki keinginan dan harapan
untuk terlepas dari kemiskinan dan penderitaan yang tidak mereka kehendaki.
Karena itu, pelaksanaan penyuluhan pertanian harus mampu
tidak saja mengembangkan potensi petani tetapi juga harus mau memberikan
peluang kepada kekuatannya sendiri untuk mengembangkan potensinya supaya
terlepas dari kemiskinan dan kebodohan.
Dengan demikian, penyuluhan pertanian harus didukung oleh
kegiatan lain yang dapat menjadikan petani (yang selama ini bodoh dan miskin
itu) sebagai petani-petani tangguh.
Petani tangguh bukanlah petani yang dengan penuh kesabaran
sanggup tahan hidup dalam kebodohan dan penderitaan, tetapi petani yang terus
menerus mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dengan kreatif
berswakarsa dan berswadaya dalam meningkatkan produktivitas dan pendapatannya
demi perbaikan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya.
Sehubungan dengan falsafah penyuluhan pertanian yang
berlandaskan pada falsafah Pancasila, penyuluhan pertanian agar juga
mengkaitkannya dengan motto bangsa yang *Bhinneka Tunggal Ika* yang membawa
konsekuensi pada :
1. Perubahan administrasi penyuluhan dari yang bersifat
"Regulatif Sentralistis" menjadi
"Fasilitatif Partisipatif"
"Fasilitatif Partisipatif"
2. Pentingnya kemauan penyuluh untuk memahami budaya lokal
yang seringkali juga mewarnai
"Local Agriclutural Practices".
"Local Agriclutural Practices".
Pemahaman seperti itu, mengandung pengertian bahwa :
1. Administrasi penyuluhan tidak selalu dibatasi oleh
peraturan-peraturan dari "pusat" yang kaku, karena hal ini seringkali
menjadikan petani tidak memperoleh keleluasaan mengembangkan potensi yang
dimilikinya.
Demikian juga halnya dengan administrasi yang terlalu
"sentralistis" seringkali tidak mampu secara cepat mengantisipasi
permasalahan-permasalahan yang timbul di daerah-daerah, karena masih menunggu
"petunjuk/restu" dari pusat.
Padahal, dalam setiap permasalahan yang dihadapi,
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani seringkali berdasarkan
pertimbangan bagaimana untuk dapat "menyelamatkan keluarganya".
Dalam kasus-kasus seperti itu, seharusnya penyuluh diberi
kewenangan untuk secepatnya pula mengambil inisyatifnya sendiri.
Di lain pihak, administrasi yang terlalu
"Regulatif" seringkali sangat membatasi kemerdekaan petani untuk
mengambil keputusan bagi usahataninya.
2) Penyuluh, selain memberikan "ilmu"nya kepada
petani, ia harus mau belajar tentang "ngelmu"nya petani yang
seringkali dianggap tidak rasional (karena yang oleh penyuluh dianggap rasional
adalah yang sudah menjadi petunjuk pusat).
Padahal, praktek-praktek usahatani yang berkembang dari
budaya lokal seringkali juga sangat rasional, karena telah mengalami proses
"Trial and Error" dan teruji oleh waktu.
Berkaitan dengan falsafah *“Helping People to Help
Themselves”* tercatat adanya 8 teori pemberian bantuan, yaitu :
*1. Hubungan Penasehat dan Aparat Birokrasi Pemerintah*
Melalui proses pembelajaran tentang : ide-ide baru, analisis
keadaan dan masalahnya yang diikuti dengan tawaran solusi dan minimalisasi
konfrontasi/ketegangan yang terjadi antara aparat pemerintah dan masyarakat,
antar sesama aparat, dan antar kelompok-kelompok masyarakat yang merasa
dirugikan dan yang menimati keuntungan dari kebijakan pemerintah.
*2. Hubungan Guru dan Murid*
Dengan memberikan :
• Kesempatan untuk mengenali pengalamanannya
• Stimulus untuk berpikir dan menemukan
masalahnya sendiri
• Memberikan kesempatan untuk melakukan “penelitian”
• Tawaran solusi untuk dipelajari
• Kesempatan untuk menguji idenya dengan aplikasi langsung
*3. Hubungan Manajer dan Karyawan*
Melalui pemberian tanggungjawab sebagai alat kontrol diri
(self control)
*4. Hubungan Dokter dan Pasien*
Melalui pemberian saran yang konstruktif dengan memanfaatkan
sumberdaya yang dimiliki dan atau diusahakannya sendiri.
Ujicoba kegiatan melalui pemberian dana dan manajemen dari
luar, ternyata tidak akan memberikan hasil yang lebih baik.
*5. Hubungan Guru Spiritual dan Murid*
Melalui pemahaman bahwa masalah atau kesalahan hanya dapat
diketahui oleh yang mengalaminya (diri sendiri).
Guru tidak boleh menonjolkan kelebihannya, tetapi harus
merendah diri, siap melayani,dan menyediakan waktu dengan sabar.
*6. Hubungan Organisator dan Masyarakat*
Melalui upaya demokratisasi, menumbuh-kembangkan
partisipasi, dan mengembangkan keyakinan (rasa percaya diri) untuk memecahkan
masalahnya sendiri.
*7. Hubungan Pendidik dan Masyarakat*
Melalui proses penyadaran dan memberikan kebebasan untuk
melakukan segala sesuatu yang terbaik menurut dirinya sendiri.
*8. Hubungan Agen Pembangunan dan Lembaga Lokal*
Melalui program bantuan untuk mencermati apa yang dilakukan
seseorang (masyarakat) dan membantu agar mereka dapat melakukan
perbaikan-perbaikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya.
Semoga Bermanfaat..
No comments:
Post a Comment