Myasis adalah penyakit atau kelainan pada kulit yang
disebabkan oleh infestasi larva lalat Chrysomya bezziana.
Myasis atau belatungan adalah penyakit atau kelaianan karena
infestasi lalat pada jaringan hewan hidup.
Myasis pada induk semang dapat terjadi di berbagai lokasi
namun kali ini pembahasan hanya terbatas myasis pada kulit.
Myasis disebabkan oleh lalat yang disebut “screw worm fly” yang dikenal sebagai 2 jenis yaitu :
Chrysomya bezziana (Indonesia)
Cochliomya hominivorax (Amerika)
Larva lalat ini bersifat obligat parasit.
Kasus myasis pertama kali dilaporkan terjadi pada sapi-sapi
di Sulawesi Utara dan Selatan.
Proses terjadinya myasis didahului oleh adanya luka
traumatik pada kulit inang.
Luka dapat berasal dari gigitan caplak atau benda-benda
disekitar sapi.
Awal infeksi larva terjadi pada kulit yang terluka,
selanjutnya larva bergerak lebih dalam menuju jaringan otot sehingga luka
semakin lebar.
Kondisi ini menyebabkan tubuh sapi menjadi lemah, kurang nafsu
makan, demam, dan anemia sehingga sapi menjadi kurus dan produktivitasnya
menurun yang secara langsung berdampak pada harga jualnya.
Etiologi
Myasis disebabkan oleh lalat Chrysomya bezziana famili
Calliphoridae yang biasa disebut Old World Screwworm Fly yang memiliki warna
biru metalik, biru keunguan atau biru kehijauan.
Kepala lalat berwarna orange dengan mata merah gelap.
Perbedaan antara lalat betina dan jantan terletak pada
matanya.
Lalat betina memiliki celah yang memisahkan mata kanan dan kiri
yang lebih lebar dibandingkan lalat jantannya.
Ukuran lalat 10 mm (panjang) x 4,1 mm (lebar).
Telur Chrysomya bezziana berwarna putih transparan dengan
panjang 1,25 mm dan diameter 0,26 mm serta berbentuk silindris dan tumpul pada
kedua ujungnya.
Chrysomya bezziana merupakan parasit obligat.
Larva Chrysomya bezziana terbagi menjadi 3 bentuk
perkembangan yaitu L1, L2, dan L3.
Larva ini memiliki 12 segmen yaitu 1 segmen kepala, 3 segmen
thorak, dan 8 segmen abdominal.
Ketiga bentuk larva tersebut dibedakan dari panjang tubuh
dan warnanya.
L1 memiliki panjang 1,6 mm dengan diameter 0,25 mm dan
berwarna putih.
L2 memiliki panjang 3,5-5,5 mm dengan diameter 0,5-0,75 mm
dan berwarna putih sampai krem.
L3 memiliki panjang 6,1-15,7 dengan diameter 1,1-3,6 dan
berwarna krem (muda)/merah muda (dewasa).
Tubuh larva dilengkapi bentukan duri dengan arah condong ke
belakang.
Saat akan menjadi pupa, L3 berubah warna menjadi coklat
hingga hitam dengan panjang rata-rata 10,1 mm dengan diameter 3,6 mm.
Siklus hidup Chrysomya bezziana terbagi menjadi 4 tahap
yaitu telur, larva, pupa, dan lalat. Pada tahapan larva, perkembangan L1 sampai
L3 memerlukan waktu 6-7 hari selanjutnya L3 menjadi pupa memerlukan waktu 7-8
hari kemudian menjadi lalat yang akan bertelur setelah 6-7 hari.
Penetasan pupa menjadi lalat sangat tergantung suhu dimana
pupa akan menetas dalam seminggu pada suhu 25-30°C.
Lalat jantan dan betina mempunyai daya tahan hidup yang
relatif sama yaitu 15 hari (dalam kondisi laboratorium).
Patogenesis
Awal terbentuknya myasis adalah apabila sapi mengalami luka
karena birahi, tersayat benda tajam, pascapartus, gigitan caplak, gigitan lalat
Tabanidae, atau akibat infestasi Sarcoptes scabei akan menyebabkan keluarnya
darah.
Bau darah segar yang mengalir tersebut akan menarik
perhatian lalat Chrysomya bezziana betina untuk meletakkan telurnya ke luka
tersebut.
Dalam waktu 12-24 jam, telur akan menetas menjadi larva dan
bergerak masuk ke jaringan.
Aktivitas larva didalam jaringan tubuh mengakibatkan luka semakin
besar dan kerusakan jaringan kulit semakin parah.
Larva mungkin akan berdiam di tempat masuknya pada kulit.
Kondisi ini menyebabkan bau yang menyengat dan mengundang
lalat lain untuk hinggap seperti Sarcophaga sp., Chrysomya megachepalla, Musca
sp dan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri.
Gejala Klinis
Infestasi larva myasis tidak menimbulkan gejala klinis
spesifik dan sangat bervariasi tergantung pda lokasi luka.
Gambaran klinis pada kulit umumnya berupa kerusakan kulit
dan jaringan subkutan, leleran serous disertai bau busuk.
Gejala klinis pada hewan antara lain demam, radang,
peningkatan suhu tubuh, kurang nafsu makan, sapi tidak tenang, penurunan bobot
badan dan produksi susu, kerusakan kulit, hipereosinofilia, serta anemia.
Apabila tidak diobati, myasis dapat mengakibatkan kematian
sebagai akibat keracunan kronis amonia.
Diagnosis
Penegakan diagnosis myasis pada penderita adalah dengan
ditemukannya larva Chrysomya bezziana pada daerah luka.
Umumnya, larva Chrysomya bezziana ditemukan pada kondisi
infestasi primer namun jika telah
terjadi lama maka akan dijumpai larva lalat yang lain seperti Sarcophaga sp.,
Chrysomya megachepalla, Musca domestica.
Identifikasi larva lalat dilakukan dibawah mikroskop untuk
melihat spirakel anterior dan posterior serta bentuk spina (duri) yang khas
pada masing-masing spesies larva lalat.
Perlakuan
Luka yang mengandung larva dibersihkan dengan seksama dengan
menggunakan pinset untuk mengeluarkan larva.
Pemberian obat karbamat dan Echon cukup beresiko karena
merupakan insektisida sistemik yang dapat menyebabkan keracunan pada ternak
pascapengobatan ataupin pengobatan tradisional dengan ektrak tembakau dan
rotenon untuk mengeluarkan larva dari luka.
Pengendalian kejadian myasis juga dapat melalui perendaman
(dipping) rutin 2 kali seminggu dengan mencampur 6 liter Ecoflee® dengan 3 L
air namun cara ini perlu memperhatikan aspek ekonomi peternak terhadap harga
obat atau dengan campuran 50 gr yodium, 200 ml alkohol 75%, dan 5 ml Ecoflee®
dan ditambah 1 L air kemudian campuran tersebut disemprotkan pada luka serta
dilakukan 2 kali seminggu.
Selain itu, trearment myasis juga dapat menggunakan Gusanex®
spray (anti larva), salep yang dapat merangsang granulasi seperti asuntol 2%,
dan antibiotika topikal untuk mengobati infeksi sekunder serta dapat ditambah
dengan pemberian minyak ikan untuk mempercepat penyembuhan luka.
Beberapa peneliti juga telah mengembangkan insektisida
botanis dari biji srikaya dan mindi, Bacillus thuringiensis untuk dijadikan
bioinsektisida, maupun pengembangan minyak atsiri seperti minyak atsiri nilam
dan akar wangi secara invitro sebagai insektisida botanis/insektisida nabati
dimana minyak atsiri ini menghambat atau membunuh larva Chrysomya bezziana
melalui sifat toksiknya terhadap saluran cerna larva dan melalui kutikula
larva.
Pengendalian dan Pencegahan
Pengendalian populasi lalat Chrysomya bezziana dengan cara
penyemprotan insektisida atau pestisida, pembuatan vaksin rekombinan yang
diekspresikan ke dalam E. coli, dengan metode Sterile Insect Tecnique
(SIT)/Sterile Insect Release Method (SIRM) dan pengembangan pemikat lalat
(attraktan).
SIT adalah metode pengendalian populasi lalat dengan cara
melepaskan jantan yang disterilisasi dengan teknik radiasi. Keberhasilan teknik
ini sangat tergantung pada pemahaman tentang keragaman genetik yang ada didalam
populasi tersebut.
Sedangkan pemikat lalat (attraktan) memiliki fungsi memikat
lalat jantan dan sebagai pengganti hati sapi yang sebelumnya digunakan sebagai
umpan. Formula pemikat lalat terbuat dari darah sapi yang terkontaminasi
bakteri, darah steril yang diinokulasi dengan bakteri, dan darah yang mengalami
defibirinasi.
Namun meskipun telah dikembangkan metode terbaru,
peternak-peternak tradisional di pedesaan masih menggunakan gerusan hati
sebagai pemikat lalat.
Pengendalian juga dilakukan melalui vaksinasi dengan memakai
vaksin rekombinan.
Selain itu, tindakan pengawasan lalu lintas ternak perlu
ditingkatkan karena ternak yang dikirim dari daerah endemis dapat menyebarkan
penyakit myasis di daerah bebas.
Hal ini dapat terjadi karena ternak yang menderita myasis
atau mengandung larva Chrysomya bezziana di sepanjang perjalanan larva yang
sudah matang berpotensi untuk jatuh ke tanah lalu membuat terowongan kecil dan
menjadi pupa kemudian berkembang menjadi lalat dewasa.
Semoga Bermanfaat..
No comments:
Post a Comment