Friday 28 October 2016

MYASIS PADA HEWAN


     Myasis adalah penyakit atau kelainan pada kulit yang disebabkan oleh infestasi larva lalat Chrysomya bezziana.

     Myasis atau belatungan adalah penyakit atau kelaianan karena infestasi lalat pada jaringan hewan hidup.
Myasis pada induk semang dapat terjadi di berbagai lokasi namun kali ini pembahasan hanya terbatas myasis pada kulit.
Myasis disebabkan oleh lalat yang disebut “screw worm fly” yang dikenal sebagai 2 jenis yaitu :
Chrysomya bezziana (Indonesia)
Cochliomya hominivorax (Amerika)

Larva lalat ini bersifat obligat parasit.
Kasus myasis pertama kali dilaporkan terjadi pada sapi-sapi di Sulawesi Utara dan Selatan.
Proses terjadinya myasis didahului oleh adanya luka traumatik pada kulit inang.
Luka dapat berasal dari gigitan caplak atau benda-benda disekitar sapi.

Awal infeksi larva terjadi pada kulit yang terluka, selanjutnya larva bergerak lebih dalam menuju jaringan otot sehingga luka semakin lebar.
Kondisi ini menyebabkan tubuh sapi menjadi lemah, kurang nafsu makan, demam, dan anemia sehingga sapi menjadi kurus dan produktivitasnya menurun yang secara langsung berdampak pada harga jualnya.

Etiologi
     Myasis disebabkan oleh lalat Chrysomya bezziana famili Calliphoridae yang biasa disebut Old World Screwworm Fly yang memiliki warna biru metalik, biru keunguan atau biru kehijauan.
Kepala lalat berwarna orange dengan mata merah gelap.
Perbedaan antara lalat betina dan jantan terletak pada matanya.

Lalat betina memiliki celah yang memisahkan mata kanan dan kiri yang lebih lebar dibandingkan lalat jantannya.
Ukuran lalat 10 mm (panjang) x 4,1 mm (lebar).
Telur Chrysomya bezziana berwarna putih transparan dengan panjang 1,25 mm dan diameter 0,26 mm serta berbentuk silindris dan tumpul pada kedua ujungnya.
Chrysomya bezziana merupakan parasit obligat.

Larva Chrysomya bezziana terbagi menjadi 3 bentuk perkembangan yaitu L1, L2, dan L3.
Larva ini memiliki 12 segmen yaitu 1 segmen kepala, 3 segmen thorak, dan 8 segmen abdominal.
Ketiga bentuk larva tersebut dibedakan dari panjang tubuh dan warnanya.

L1 memiliki panjang 1,6 mm dengan diameter 0,25 mm dan berwarna putih.
L2 memiliki panjang 3,5-5,5 mm dengan diameter 0,5-0,75 mm dan berwarna putih sampai krem.
L3 memiliki panjang 6,1-15,7 dengan diameter 1,1-3,6 dan berwarna krem (muda)/merah muda (dewasa).

Tubuh larva dilengkapi bentukan duri dengan arah condong ke belakang.
Saat akan menjadi pupa, L3 berubah warna menjadi coklat hingga hitam dengan panjang rata-rata 10,1 mm dengan diameter 3,6 mm.

Siklus hidup Chrysomya bezziana terbagi menjadi 4 tahap yaitu telur, larva, pupa, dan lalat. Pada tahapan larva, perkembangan L1 sampai L3 memerlukan waktu 6-7 hari selanjutnya L3 menjadi pupa memerlukan waktu 7-8 hari kemudian menjadi lalat yang akan bertelur setelah 6-7 hari.

Penetasan pupa menjadi lalat sangat tergantung suhu dimana pupa akan menetas dalam seminggu pada suhu 25-30°C.
Lalat jantan dan betina mempunyai daya tahan hidup yang relatif sama yaitu 15 hari (dalam kondisi laboratorium).

Patogenesis
     Awal terbentuknya myasis adalah apabila sapi mengalami luka karena birahi, tersayat benda tajam, pascapartus, gigitan caplak, gigitan lalat Tabanidae, atau akibat infestasi Sarcoptes scabei akan menyebabkan keluarnya darah.

Bau darah segar yang mengalir tersebut akan menarik perhatian lalat Chrysomya bezziana betina untuk meletakkan telurnya ke luka tersebut.
Dalam waktu 12-24 jam, telur akan menetas menjadi larva dan bergerak masuk ke jaringan.

Aktivitas larva didalam jaringan tubuh mengakibatkan luka semakin besar dan kerusakan jaringan kulit semakin parah.

Larva mungkin akan berdiam di tempat masuknya pada kulit.
Kondisi ini menyebabkan bau yang menyengat dan mengundang lalat lain untuk hinggap seperti Sarcophaga sp., Chrysomya megachepalla, Musca sp dan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri.

Gejala Klinis
     Infestasi larva myasis tidak menimbulkan gejala klinis spesifik dan sangat bervariasi tergantung pda lokasi luka.
Gambaran klinis pada kulit umumnya berupa kerusakan kulit dan jaringan subkutan, leleran serous disertai bau busuk.

Gejala klinis pada hewan antara lain demam, radang, peningkatan suhu tubuh, kurang nafsu makan, sapi tidak tenang, penurunan bobot badan dan produksi susu, kerusakan kulit, hipereosinofilia, serta anemia.
Apabila tidak diobati, myasis dapat mengakibatkan kematian sebagai akibat keracunan kronis amonia.

Diagnosis
     Penegakan diagnosis myasis pada penderita adalah dengan ditemukannya larva Chrysomya bezziana pada daerah luka.
Umumnya, larva Chrysomya bezziana ditemukan pada kondisi infestasi primer  namun jika telah terjadi lama maka akan dijumpai larva lalat yang lain seperti Sarcophaga sp., Chrysomya megachepalla, Musca domestica.
Identifikasi larva lalat dilakukan dibawah mikroskop untuk melihat spirakel anterior dan posterior serta bentuk spina (duri) yang khas pada masing-masing spesies larva lalat.

Perlakuan
     Luka yang mengandung larva dibersihkan dengan seksama dengan menggunakan pinset untuk mengeluarkan larva.
Pemberian obat karbamat dan Echon cukup beresiko karena merupakan insektisida sistemik yang dapat menyebabkan keracunan pada ternak pascapengobatan ataupin pengobatan tradisional dengan ektrak tembakau dan rotenon untuk mengeluarkan larva dari luka.

     Pengendalian kejadian myasis juga dapat melalui perendaman (dipping) rutin 2 kali seminggu dengan mencampur 6 liter Ecoflee® dengan 3 L air namun cara ini perlu memperhatikan aspek ekonomi peternak terhadap harga obat atau dengan campuran 50 gr yodium, 200 ml alkohol 75%, dan 5 ml Ecoflee® dan ditambah 1 L air kemudian campuran tersebut disemprotkan pada luka serta dilakukan 2 kali seminggu.

Selain itu, trearment myasis juga dapat menggunakan Gusanex® spray (anti larva), salep yang dapat merangsang granulasi seperti asuntol 2%, dan antibiotika topikal untuk mengobati infeksi sekunder serta dapat ditambah dengan pemberian minyak ikan untuk mempercepat penyembuhan luka. 

Beberapa peneliti juga telah mengembangkan insektisida botanis dari biji srikaya dan mindi, Bacillus thuringiensis untuk dijadikan bioinsektisida, maupun pengembangan minyak atsiri seperti minyak atsiri nilam dan akar wangi secara invitro sebagai insektisida botanis/insektisida nabati dimana minyak atsiri ini menghambat atau membunuh larva Chrysomya bezziana melalui sifat toksiknya terhadap saluran cerna larva dan melalui kutikula larva.

Pengendalian dan Pencegahan
     Pengendalian populasi lalat Chrysomya bezziana dengan cara penyemprotan insektisida atau pestisida, pembuatan vaksin rekombinan yang diekspresikan ke dalam E. coli, dengan metode Sterile Insect Tecnique (SIT)/Sterile Insect Release Method (SIRM) dan pengembangan pemikat lalat (attraktan).

SIT adalah metode pengendalian populasi lalat dengan cara melepaskan jantan yang disterilisasi dengan teknik radiasi. Keberhasilan teknik ini sangat tergantung pada pemahaman tentang keragaman genetik yang ada didalam populasi tersebut.

Sedangkan pemikat lalat (attraktan) memiliki fungsi memikat lalat jantan dan sebagai pengganti hati sapi yang sebelumnya digunakan sebagai umpan. Formula pemikat lalat terbuat dari darah sapi yang terkontaminasi bakteri, darah steril yang diinokulasi dengan bakteri, dan darah yang mengalami defibirinasi.

Namun meskipun telah dikembangkan metode terbaru, peternak-peternak tradisional di pedesaan masih menggunakan gerusan hati sebagai pemikat lalat.
Pengendalian juga dilakukan melalui vaksinasi dengan memakai vaksin rekombinan.

Selain itu, tindakan pengawasan lalu lintas ternak perlu ditingkatkan karena ternak yang dikirim dari daerah endemis dapat menyebarkan penyakit myasis di daerah bebas.

Hal ini dapat terjadi karena ternak yang menderita myasis atau mengandung larva Chrysomya bezziana di sepanjang perjalanan larva yang sudah matang berpotensi untuk jatuh ke tanah lalu membuat terowongan kecil dan menjadi pupa kemudian berkembang menjadi lalat dewasa.


Semoga Bermanfaat..

No comments:

Post a Comment