Monday, 22 August 2016

MENYOAL DANA DESA



UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa sebelum ditetapkan menjadi undang-undang sudah melewati perjalanan yang cukup panjang hampir tujuh tahun lamanya.
Bahkan dalam perjalanannya sebelum disyahkan dalam rapat paripurna DPR tanggal 18 Desember 2013, sudah beberapa kali terjadi aksi-aksi demostrasi yang dilakukan aparat desa di Jakarta dan beberapa tempat di tanah air yang menuntut undang-undang tersebut secepatnya disyahkan.

Dengan adanya undang-undang ini diharapkan akan bisa mengakomodasi semua tututan dan kepentingan pemerintahan dan masyarakat desa, khususnya perangkat desa yang selama ini gencar menuntut kesejahteraan. Di samping itu keberadaan pemerintah desa sebagai sebagai penyelenggara urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat yang terendah dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin jelas.

Ada beberapa perubahan yang mendasar dalam UU tersebut, antara lain terkait dengan penghasilan kepala desa dan perangkat desa yang kini memperoleh gaji tetap dan jaminan kesehatan setiap bulannya yang bersumber dari dana perimbangan dalam APBN yang diterima oleh kabupaten/kota.
Kepala desa dan perangkat desa juga akan mendapatkan tunjangan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja desa.

Kepala desa yang sebelumnya masa jabatannya 8 tahun dipotong menjadi 6 tahun, tapi bisa dijabat 3 priode berturut-turut, sebelumnya hanya dua priode.
Sepanjang kepala desa masih dipilih masyarakat, ia tetap diberikan kesempatan tiga priode.
Kesempatan selama tiga priode, memberi peluang kepala desa untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan pembangunan dan peningkatan kesejahteraa masyarakat desa.

UU ini juga memberi implikasi positif bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Mengingat perkembangan dan kemajuan desa akan bersinergi dengan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Bukankah bagian terbesar masyarakat ada di desa, tentunya dengan sejahteranya masyarakat di desa dan meratanya pembangunan, maka implementasi otonomi daerah yang bersifat, nyata, bertanggungjawab dan luas akan terlaksana.

Perubahan paling mendasar adalah ketidakadilan dalam konsep pembangunan nasional yang terpusat di kota dengan menggabaikan pembangunan di desa tidak akan terjadi lagi.
Karena desa diberikan anggaran yang memadai setiap tahunnya untuk pembangunan dan kesejahteraan aparat desa yang bersumber dari APBN yang disebut dengan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) dari APBD yang sudah terlebih dahulu ada.

Dengan adanya DD dan ADD sudah pasti banyak dampak positifnya bagi perkembangan dan kemajuan desa.
Antara lainnya berkurangnya keinginan untuk melakukan pemekaran desa dengan sendirinya.
Alasannya, sudah pasti desa yang dimekarkan akan dengan sendirinya pula akan berkurang alokasi anggaran yang diterima dari DD dan ADD karena berkurang jumlah penduduknya.

Tapi sebaliknya juga peluang terjadinya pemekaran desa bisa saja terjadi dengan digelontorkannya DD.
Modus pemekaran desa bisa saja karena adanya konflik dalam masyarakat.
Hal lain mungkin karena adanya akal-akalan dan permainan antara Pemda dengan para kepala desa melakukan pemekaran untuk kepentingan bersama.

Besaran jumlah DD tersebut ditrasfer secara langsung dari pusat ke desa 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBN setelah dikurangi oleh Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dimana untuk setiap tahun anggaran alokasi dana yang bersumber dari pusat tersebut utuh diterima desa, jadi tidak dicicil pemberiannya dalam setiap tahun anggaran.

Diperkirakan anggaran yang diterima setiap desa pertahunnya mencapai Rp. 500 juta sampai 1 milyar.
Besaran jumlah alokasi anggaran untuk setiap desa disesuaikan dengan kondisi desa, jumlah penduduk, luas wilayah, infrastruktur desa dan sebagainya.
Artinya jumlah besaran anggaran DD yang diterima setiap desa akan berbeda-beda.

Selain menerima kuncuran dana yang bersumber dari APBN tersebut, desa masih mendapat cipratan dana dari APBD provinsi, kabupaten/kota dalam bentuk ADD yang wajib diberikan sesuai kemampuan keuangan Pemda kepada pemerintah desa.
Bila dihitung-hitung, maka setiap desa bisa saja mendapatkan suntikan dana setiap tahun Rp. 500 juta sampai Rp. 1 milyar. Jumlah yang cukup fantastik memang.

Besarnya anggaran yang diterima desa dalam bentuk DD dan ADD sudah pasti menimbulkan kekhawatiran, para kepala desa tidak bisa mengelolanya.
Mengingat tidak semua kepala desa punya pengetahuan dalam pengelolaan anggaran.
Belajar dari Biaya Operasional Sekolah (BOS), banyak kepala sekolah yang tersandung hukum masuk bui.
Ini tidak boleh terjadi dengan kepala desa.

Kepala desa sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) supaya tidak berurusan dengan hukum karena ketidaktahuan pengelolaan dan penggunaan anggaran.
Seharusnya Pemerintah dan Pemda sudah melakukan sosialisasi dan pelatihan terhadap para kepala desa/perangkatnya dalam pengelolaan dan penggunaan anggaran.
Jangan sampai kepala desa/perangkatnya mengalami nasib yang sama dengan kepala sekolah.

Menyiapkan kapasitas kepala desa/perangkatnya yang mampu menyusun perencanaan, penganggaran dan pengelolaan administrasi dan keuangan desa yang transparan dan akuntabel menjadi sesuatu yang sangat penting dan mendesak.
Termasuk bagaimana memperkuat partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam pembangunan yang dananya bersumber dari DD dan ADD.

Pemda seharusnya bisa menggandeng kalangan akademisi bila mengalami keterbatasan sumber daya manusia, termasuk membangun kemitraan dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil di tingkat lokal regional dan nasional yang sudah berpengalaman melakukan pendampingan untuk memperkuat kapasitas pemerintahan desa, baik di bidang perencanaan, akutansi dan pelaporan dan manajemen resiko termasuk pencegahan korupsi.

Keberhasilan dalam pengelolaan dan penggunaan dana DD dan ADD akan mewujudkan pemerintahan desa yang bersih dari korupsi dan responsif menjawab kebutuhan masyarakatnya.
Yang lebih penting bagaimana memperkuat orientasi pembangunan desa yang punya visi pemberdayaan, keberlanjutan, keserasian lingkungan, pemerataan dan kesejahteraan.

Dilihat dari kesiapan masyarakat desa dalam penggunaan anggaran yang bersumber dari APBN dan APBD sebetulnya sudah benar-benar siap, karena sudah terlibat dengan program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri) Perdesaan.
Dimana masyarakat desa sudah terlibat dalam proses penganggaran partisipatif untuk program di desanya masing-masing sejak dari tahap perencanaannya.

Jika semua itu dapat diwujudkan dan dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah desa, maka permasalahan urbanisasi, kemiskinan, ketimpangan dan keterbelakangan akan bisa terselesaikan.
Artinya momentum untuk mewujudkan desa yang otonom, demokratis, mandiri dan sejahtera akan dapat tercapai.
Mengingat selama ini proyek pembangunan di desa lebih dominan dikendalikan Pusat, Pemda Kabupaten/Provinsi dan instansi vertikal.

Seharusnya sekitar bulan April 2015 DD tersebut akan turun di 74.093 desa di Indonesia dan untuk Sumut ada 5.418 desa yang akan menerima transfer DD.
Sayangnya, sampai akhir tahub 2015 baru Rp. 3,8 triliun (20%) dari Rp. 8 triliun untuk tahap pertama yang cair.
Disebutkan banyak kendala di lapangan yang menyebabkan dana belum bisa dicairkan, antara lain belum adanya Peraturan Kepala Daerah yang mengantur soal DD tersebut.

Masalah lain sebagian sektertaris desa/bendahara belum berstatus PNS.
Karena yang bisa membuka rekening desa hanya sekretaris desa/bendahara berstatus PNS dan beberapa desa belum memiliki kantor desa.
Di samping rencana kerja  pemerintah desa belum dibuat Pemerintah Desa, karena tidak adanya sumber daya manusia untuk menyusunnya.

Adapun pendampingan dari Pemerintah Daerah dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi belum ada terutama di desa-desa di luar Pulau Jawa.

Pendamping Desa belum dibuat Pemerintah Desa, karena tidak adanya sumber daya manusia untuk menyusunnya.
Adapun pendampingan dari Pemerintah daerah dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi belum ada terutama di desa-desa di luar Pulau Jawa.


Semoga informasi ini bermanfaat..

No comments:

Post a Comment