UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa sebelum ditetapkan menjadi
undang-undang sudah melewati perjalanan yang cukup panjang hampir tujuh tahun
lamanya.
Bahkan dalam perjalanannya sebelum disyahkan dalam rapat
paripurna DPR tanggal 18 Desember 2013, sudah beberapa kali terjadi aksi-aksi
demostrasi yang dilakukan aparat desa di Jakarta dan beberapa tempat di tanah
air yang menuntut undang-undang tersebut secepatnya disyahkan.
Dengan adanya undang-undang ini diharapkan akan bisa
mengakomodasi semua tututan dan kepentingan pemerintahan dan masyarakat desa,
khususnya perangkat desa yang selama ini gencar menuntut kesejahteraan. Di
samping itu keberadaan pemerintah desa sebagai sebagai penyelenggara urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat yang terendah dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin jelas.
Ada beberapa perubahan yang mendasar dalam UU tersebut,
antara lain terkait dengan penghasilan kepala desa dan perangkat desa yang kini
memperoleh gaji tetap dan jaminan kesehatan setiap bulannya yang bersumber dari
dana perimbangan dalam APBN yang diterima oleh kabupaten/kota.
Kepala desa dan perangkat desa juga akan mendapatkan
tunjangan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja desa.
Kepala desa yang sebelumnya masa jabatannya 8 tahun dipotong
menjadi 6 tahun, tapi bisa dijabat 3 priode berturut-turut, sebelumnya hanya
dua priode.
Sepanjang kepala desa masih dipilih masyarakat, ia tetap
diberikan kesempatan tiga priode.
Kesempatan selama tiga priode, memberi peluang kepala desa
untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan pembangunan dan peningkatan kesejahteraa
masyarakat desa.
UU ini juga memberi implikasi positif bagi keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah.
Mengingat perkembangan dan kemajuan desa akan bersinergi
dengan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Bukankah bagian terbesar masyarakat ada di desa, tentunya
dengan sejahteranya masyarakat di desa dan meratanya pembangunan, maka
implementasi otonomi daerah yang bersifat, nyata, bertanggungjawab dan luas akan
terlaksana.
Perubahan paling mendasar adalah ketidakadilan dalam konsep
pembangunan nasional yang terpusat di kota dengan menggabaikan pembangunan di
desa tidak akan terjadi lagi.
Karena desa diberikan anggaran yang memadai setiap tahunnya
untuk pembangunan dan kesejahteraan aparat desa yang bersumber dari APBN yang
disebut dengan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) dari APBD yang sudah
terlebih dahulu ada.
Dengan adanya DD dan ADD sudah pasti banyak dampak
positifnya bagi perkembangan dan kemajuan desa.
Antara lainnya berkurangnya keinginan untuk melakukan
pemekaran desa dengan sendirinya.
Alasannya, sudah pasti desa yang dimekarkan akan dengan
sendirinya pula akan berkurang alokasi anggaran yang diterima dari DD dan ADD
karena berkurang jumlah penduduknya.
Tapi sebaliknya juga peluang terjadinya pemekaran desa bisa
saja terjadi dengan digelontorkannya DD.
Modus pemekaran desa bisa saja karena adanya konflik dalam
masyarakat.
Hal lain mungkin karena adanya akal-akalan dan permainan
antara Pemda dengan para kepala desa melakukan pemekaran untuk kepentingan
bersama.
Besaran jumlah DD tersebut ditrasfer secara langsung dari
pusat ke desa 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBN
setelah dikurangi oleh Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dimana untuk setiap tahun anggaran alokasi dana yang
bersumber dari pusat tersebut utuh diterima desa, jadi tidak dicicil
pemberiannya dalam setiap tahun anggaran.
Diperkirakan anggaran yang diterima setiap desa pertahunnya
mencapai Rp. 500 juta sampai 1 milyar.
Besaran jumlah alokasi anggaran untuk setiap desa
disesuaikan dengan kondisi desa, jumlah penduduk, luas wilayah, infrastruktur
desa dan sebagainya.
Artinya jumlah besaran anggaran DD yang diterima setiap desa
akan berbeda-beda.
Selain menerima kuncuran dana yang bersumber dari APBN
tersebut, desa masih mendapat cipratan dana dari APBD provinsi, kabupaten/kota
dalam bentuk ADD yang wajib diberikan sesuai kemampuan keuangan Pemda kepada
pemerintah desa.
Bila dihitung-hitung, maka setiap desa bisa saja mendapatkan
suntikan dana setiap tahun Rp. 500 juta sampai Rp. 1 milyar. Jumlah yang cukup
fantastik memang.
Besarnya anggaran yang diterima desa dalam bentuk DD dan ADD
sudah pasti menimbulkan kekhawatiran, para kepala desa tidak bisa mengelolanya.
Mengingat tidak semua kepala desa punya pengetahuan dalam
pengelolaan anggaran.
Belajar dari Biaya Operasional Sekolah (BOS), banyak kepala
sekolah yang tersandung hukum masuk bui.
Ini tidak boleh terjadi dengan kepala desa.
Kepala desa sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) supaya
tidak berurusan dengan hukum karena ketidaktahuan pengelolaan dan penggunaan
anggaran.
Seharusnya Pemerintah dan Pemda sudah melakukan sosialisasi
dan pelatihan terhadap para kepala desa/perangkatnya dalam pengelolaan dan
penggunaan anggaran.
Jangan sampai kepala desa/perangkatnya mengalami nasib yang
sama dengan kepala sekolah.
Menyiapkan kapasitas kepala desa/perangkatnya yang mampu
menyusun perencanaan, penganggaran dan pengelolaan administrasi dan keuangan
desa yang transparan dan akuntabel menjadi sesuatu yang sangat penting dan
mendesak.
Termasuk bagaimana memperkuat partisipasi dan pengawasan
masyarakat dalam pembangunan yang dananya bersumber dari DD dan ADD.
Pemda seharusnya bisa menggandeng kalangan akademisi bila
mengalami keterbatasan sumber daya manusia, termasuk membangun kemitraan dengan
organisasi-organisasi masyarakat sipil di tingkat lokal regional dan nasional
yang sudah berpengalaman melakukan pendampingan untuk memperkuat kapasitas
pemerintahan desa, baik di bidang perencanaan, akutansi dan pelaporan dan
manajemen resiko termasuk pencegahan korupsi.
Keberhasilan dalam pengelolaan dan penggunaan dana DD dan
ADD akan mewujudkan pemerintahan desa yang bersih dari korupsi dan responsif
menjawab kebutuhan masyarakatnya.
Yang lebih penting bagaimana memperkuat orientasi
pembangunan desa yang punya visi pemberdayaan, keberlanjutan, keserasian
lingkungan, pemerataan dan kesejahteraan.
Dilihat dari kesiapan masyarakat desa dalam penggunaan
anggaran yang bersumber dari APBN dan APBD sebetulnya sudah benar-benar siap,
karena sudah terlibat dengan program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri) Perdesaan.
Dimana masyarakat desa sudah terlibat dalam proses
penganggaran partisipatif untuk program di desanya masing-masing sejak dari
tahap perencanaannya.
Jika semua itu dapat diwujudkan dan dimanfaatkan secara
optimal oleh pemerintah desa, maka permasalahan urbanisasi, kemiskinan,
ketimpangan dan keterbelakangan akan bisa terselesaikan.
Artinya momentum untuk mewujudkan desa yang otonom,
demokratis, mandiri dan sejahtera akan dapat tercapai.
Mengingat selama ini proyek pembangunan di desa lebih
dominan dikendalikan Pusat, Pemda Kabupaten/Provinsi dan instansi vertikal.
Seharusnya sekitar bulan April 2015 DD tersebut akan turun
di 74.093 desa di Indonesia dan untuk Sumut ada 5.418 desa yang akan menerima
transfer DD.
Sayangnya, sampai akhir tahub 2015 baru Rp. 3,8 triliun
(20%) dari Rp. 8 triliun untuk tahap pertama yang cair.
Disebutkan banyak kendala di lapangan yang menyebabkan dana
belum bisa dicairkan, antara lain belum adanya Peraturan Kepala Daerah yang
mengantur soal DD tersebut.
Masalah lain sebagian sektertaris desa/bendahara belum
berstatus PNS.
Karena yang bisa membuka rekening desa hanya sekretaris
desa/bendahara berstatus PNS dan beberapa desa belum memiliki kantor desa.
Di samping rencana kerja pemerintah desa belum dibuat
Pemerintah Desa, karena tidak adanya sumber daya manusia untuk menyusunnya.
Adapun pendampingan dari Pemerintah Daerah dan Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi belum ada terutama di
desa-desa di luar Pulau Jawa.
Pendamping Desa belum dibuat Pemerintah Desa, karena tidak
adanya sumber daya manusia untuk menyusunnya.
Adapun pendampingan dari Pemerintah daerah dan Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi belum ada terutama di
desa-desa di luar Pulau Jawa.
Semoga informasi ini bermanfaat..
No comments:
Post a Comment